1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya
KeragamanJerman

Bagaimana Gereja Jerman Tangkal Ideologi Ekstrem Kanan

Christoph Strack
17 April 2024

Gereja secara tegas menolak politisasi agama dan pengaruh ideologi ekstrem kanan. Tapi bagaimana institusi keagamaan terbesar ingin memenuhi tanggung jawabnya melindungi demokrasi dan keragaman di Jerman?

https://p.dw.com/p/4eqWf
Demonstrasi anti-AfD di Jerman
"Baiarawati menolak ekstrem kanan," bunyi plakat dalam sebuah aksi demonstrasi anti-AfD di JermanFoto: Caro Trappe/dpa/picture alliance

Pidato Stephan Kramer mengentak lewat ketegasannya. "Bagaimana nasib demokrasi ke depan, akan bergantung pada kita semua," kata presiden Badan Perlindungan Konstitusi, BfV, itu di hadapan 150 tokoh dan pemuka Gereja Protestan Jerman, EKD, di ibu kota Berlin, pertengahan April silam.

Di sana, dia mengimbau "keberpihakan yang lantang" kepada demokrasi dalam keseharian di gereja, "baik dalam percakapan antara kolega, di dalam keluarga atau di jejaring sosial."

Malam itu EKD membahas bagaimana gereja bisa berperan menanggulang ideologi esktrem kanan dalam kaitannya dengan popularitas Partai Alternative für Deutschland, AfD​, yang belakang terus menguat.

Jika survei teranyar mencatat 30 persen warga bekas Jerman Timur memilih AfD, maka patut dipertimbangkan bahwa porsi serupa bisa ditemui pada anggota gereja, kata seorang manajer Diakonia Gereja Protestan, sebuah organisasi bantuan binaan EKD.

Presiden BfV Kramer membenarkan, dirinya telah mengetahui sejak lama adanya kontak antara anggota gereja dengan kelompok ekstrem kanan di Jerman.

Ekstremisme kanan di gereja Jerman

"Di Diakonia, kami menjumpai kasus di mana pegawai mengucapkan ujaran kebencian atau ungkapan bernada esktrem kanan," kata Presiden Diakonia Rüdiger Schuch dalam wawancara dengan DW. "Memang masalah ekstremisme kanan ini juga sudah muncul di gereja."

Konkretnya, gereja ingin membatasi pengaruh AfD dengan menerbitkan deklarasi berisi penolakan. "Penyebaran ungkapan-ungkapan ekstrem kanan, termasuk juga rasisme dan antisemitisme, dengan ini dinyatakan tidak selaras dengan layanan gereja," tulis Keuskupan Katolik Jerman, belum lama ini.

Deklarasi keuskupan disambut peringatan serupa oleh Ketua EKD, Kristen Fehrs. Dia mewanti-wanti betapa sikap yang memusuhi manusia dan tendensi nazisme tidak dibenarkan dalam ajaran agama Kristen. Pada akhir Maret lalu, keuskupan kembali menegaskan, siapapun yang mengeskpresikan ideologi politoik AfD di muka umum, "tidak layak memangku jabatan tinggi di Gereja Katolik."

Ayo berlangganan gratis newsletter mingguan Wednesday Bite. Recharge pengetahuanmu di tengah minggu, biar topik obrolan makin seru!

"Aturan yang jelas"

Namun begitu, keuskupan Katolik atau Gereja Protestan tidak menetapkan kerangka hukum atau prosedur untuk memberhentikan pegawai yang bersangkutan. Status  kepegawaian akan diputuskan melalui pemeriksaan, "yang secara hukum tidak mudah," kata Fehrs.

Menurut Thomas Arnold, situasinya serupa dengan di gereja Katolik. Selama delapan tahun terakhir dia memimpin Sekolah Keuskupan di Dresden dan sejak beberapa pekan bekerja untuk Kementerian Dalam Negeri negara bagian Sachsen. Dalam sebuah editorial di sebuah situs Katolik, Arnold menuntut "aturan dan prosedur yang jelas," namun juga memperingatkan agar tidak mudah menjatuhkan "larangan bekerja" atau pemecatan dari organisasi gereja.

Damai Lebaran dalam Toleransi Agama

Polemik itu muncul dari pernyataan pakar hukum gereja Jerman, Thomas Schüller, yang merujuk pada larangan bekerja bagi calon pegawai negeri yang gagal lolos tes kesetiaan konstitusi pada dekade 1970an di Jerman. Schüller kemudian menegaskan betapa dirinya tidak menginginkan "tes ideologi," melainkan kerangka hukum yang memudahkan gereja menjauhkan diri dari simpatisan ekstrem kanan.

Betapa kedua gereja membutuhkan landasan hukum, dibuktikan dalam kasus di negara bagian Saarland. Tidak lama setelah deklarasi anti-AfD oleh Keuskupan Katolik, sebuah gereja di kota Neunkirchen mengajukan permohonan pemecatan terhadap seorang anggota dewan direksi, karena mewakili AfD sebagai anggota parlemen lokal. Enam pekan berselang, pemeriksaan masih berlangsung, kata keuskupan.

Kasus serupa muncul di Weil am Rhein di selatan Jerman, di mana sebuah gereja melarang seorang jemaat bekerja secara sukarela, karena dia mencalonkan diri dalam pemilu komunal lewat partai AfD.

Di kedua organisasi bantuan gereja, Diakonia Protestan dan Caritas Katolik, kasus-kasus problematis juga mulai bermunculan.

Kasus paling menonjol selama enam minggu terakhir adalah kisruh antara Gereja Protestan di Jerman Tengah, EKM, dengan Pastor Martin Michaelis di Sachsen-Anhalt, yang mencalonkan diri sebagai kandidat AfD di Quedlinburg pada pemilu lokal mendatang.

Proses disipliner sedang berlangsung, menurut kantor regional EKM. Michaelmas tidak diperbolehkan membaptis, memandu perjamuan atau berkhotbah di depan umum sampai proses pemecatannya selesai. Michaelis menolak keputusan tersebut. Kasusnya berpotensi berakhir di pengadilan gereja.

"Memenangkan kembali warga"

Organisasi bantuan gereja selama ini melihat diri sebagai sekutu dalam upaya menanggulangi ekstremisme kanan dan rasisme.

"Kita harus berbicara dengan mereka yang tidak puas dan mendengar apa yang menggerakkan mereka untuk memilih partai ekstrem kanan," kata Presiden Diakonia Rüdiger Schuch. Dia mengaku dirinya berharap, "bahwa kita bisa meyakinkan banyak orang untuk mendukung demokrasi."

Organisasi bantuan gereja, kata Schuch, memberikan kontribusi signifikan dalam "melestarikan demokrasi,” karena memperkuat kohesi sosial. Mereka "sebenarnya adalah pilar demokrasi”.

Dan Thomas Arnold, direktur sekolah keuskupan Akademi Dresden, menekankan keberanian gereja untuk terlibat dalam perdebatan politik kekinian. Deklarasi keuksupan tidak lantas menyudahi tanggung jawab gereja untuk membuka dialog mengenai solusi politik di tengah masyarakat.

rzn/as