1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya
PolitikUkraina

Bantuan Jepang ke Ukraina: Perubahan Politik Terhadap Rusia?

Roman Goncharenko
16 April 2024

Jepang telah menjadi salah satu sekutu terpenting Ukraina, dengan memberikan bantuan miliaran dolar. Namun apa dampaknya bagi hubungan dengan Rusia?

https://p.dw.com/p/4epi4
Presiden Ukraina Volodymyr Zelenskyy dan PM Jepang Fumio Kishida di Hiroshima, Jepang
Presiden Ukraina Volodymyr Zelenskyy dan PM Jepang Fumio Kishida di Hiroshima, JepangFoto: Eugene Hoshiko/Pool/REUTERS

Selama berbulan-bulan, para politisi di Partai Republik di AS memblokir paket bantuan baru bernilai miliaran dolar untuk Ukraina. Karena itu, negara-negara lain lalu meningkatkan bantuan mereka, di antaranya Jepang. Menurut Kementerian Keuangan Ukraina, Jepang diam-diam telah menjadi salah satu pendukung keuangan paling penting di Kyiv, dan memberi bantuan terbesar pada bulan-bulan pertama tahun 2024.

Pada konferensi di Jepang bulan Februari lalu, Perdana Menteri Ukraina Denys Shmyhal mengatakan bantuan yang diberikan dan dijanjikan Jepang seluruhnya bernilai USD12 miliar. Bantuan dari Jepang ini telah membantu menjaga perekonomian Ukraina tetap bertahan. Bank Nasional Ukraina memperkirakan, produk domestik bruto (PDB) negara itu telah menyusut sepertiganya sejak invasi Rusia dimulai pada Februari 2022.

Meskipun Tokyo tidak memasok senjata ke Kyiv karena alasan sejarah dan batasan hukum nasional, Jepang bisa mengirimkan bantuan makanan, obat-obatan, generator, mobil, rompi antipeluru dan peralatan anti-ranjau.

Ayo berlangganan gratis newsletter mingguan Wednesday Bite. Recharge pengetahuanmu di tengah minggu, biar topik obrolan makin seru!

'Perubahan radikal' dalam hubungan dengan Rusia?

"Ketika Jepang membantu Ukraina, ketika mereka melawan agresi Rusia, mereka benar-benar berpikir untuk mencoba menegakkan sistem internasional yang mencegah perubahan status quo dengan kekerasan,” kata James Brown, profesor dan pakar Rusia di Temple University di Tokyo.

Dia menambahkan bahwa Jepang juga bermaksud untuk "mencegah Cina melakukan hal serupa terhadap Taiwan." Perdana Menteri Jepang Fumio Kishida membahas hal ini dengan Presiden AS Joe Biden pada pertemuan puncak tripartit mengenai Indo-Pasifik baru-baru ini di Washington.

Sikap Jepang terhadap Ukraina dan Rusia telah "berubah secara radikal,” kata analis politik Atsuko Higashino, guru besar yang meneliti konflik di Ukraina di University of Tsukuba. Meskipun Jepang "menerima aneksasi ilegal Krimea” dan "propaganda Rusia” pada tahun 2014, Jepang sekarang mengatakan segalanya berbeda setelah invasi besar-besaran Rusia ke Ukraina pada 2022. Jepang menyebut invasi Rusia sebagai "pelanggaran yang jelas terhadap Piagam PBB”. Jepang juga mengecam "kebrutalan" tentara Rusia di Bucha, dekat Kyiv.

Warga Ukraina di Jepang menggelar aksi protes terhadap Rusia di Tokyo
Warga Ukraina di Jepang menggelar aksi protes terhadap Rusia di Tokyo Foto: Hidenori Nagai/AP/picture alliance

Pengecualian untuk bahan bakar fosil

Pergantian pimpinan pemerintahan berperan dalam pergeseran ini. "Di bawah kepemimpinan sebelumnya, Perdana Menteri Shinzo Abe, Jepang sangat menahan diri untuk mengecam Rusia. Dengan tujuan untuk membujuk Rusia menyelesaikan sengketa wilayah negara dan menandatangani perjanjian damai,” kata James Brown.

"Tetapi setelah tahun 2022, pemerintahan baru Jepang menyadari bahwa upaya tersebut tidak akan berhasil, dan prioritas mereka bukanlah menciptakan kemitraan dengan Rusia melainkan mencoba dan memastikan bahwa agresi Rusia terhadap Ukraina gagal.”

Berbeda dengan Abe, Perdana Menteri Kishida telah menerapkan "sanksi yang sangat luas terhadap Rusia,” kata Atsuko Higashino. "Itu tidak terpikirkan sebelumnya."

Meski begitu, Jepang belum sepenuhnya memutuskan hubungan dengan Rusia. Masih ada pengecualian untuk beberapa bidang perekonomian, khususnya di sektor energi. Perusahaan mobil Jepang memang telah menarik diri dari pasar Rusia, namun Jepang masih terlibat dalam proyek minyak dan gas Sakhalin 2, meskipun perusahaan Barat lainnya tidak lagi berpartisipasi. Proyek ini akan memasok gas alam cair  ke Jepang. Karena Jepang hampir tidak mempunyai sumber bahan bakar fosil, Jepang mengimpor sekitar 9% gasnya dari Rusia. 

(hp/as)