1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya
SosialIndonesia

Baret Merah: Dari Cijantung ke Istana

Indonesien Blogger Aris Santoso
Aris Santoso
16 April 2024

Peringatan hari jadi Kopassus ke-72 tahun ini, setidaknya ditandai dua peristiwa penting. Pertama, ditetapkannya Prabowo Subianto (Danjen Kopassus 1995-1998) sebagai pemenang Pilpres 2024. Simak opini Aris Santoso.

https://p.dw.com/p/4eTS6
Pasukan Kopassus
Gambar pasukan KopassusFoto: Getty Images/AFP/R.Gacad

Bila tidak ada aral melintang, Prabowo tinggal menunggu hari pelantikannya saja. Di sisi lain, Kopassus baru saja memperoleh Komandan baru, atas nama Mayjen TNI Djon Afriandi (lulusan terbaik Akmil 1995). Kini  Kopassus kembali dipimpin seorang perwira lulusan terbaik Akmil, setelah Mayjen I Nyoman Cantiasa (kini Waka BIN, Akmil 1990) yang memimpin Kopassus periode 2019-2020. Sebuah kebanggaan tersendiri, bagi satuan yang dipimpin perwira lulusan terbaik di Akmil, kiranya ini sebuah hadiah terindah bagi HUT Kopassus.

Publik kelak akan menjadi saksi, bagaimana Prabowo dan Djon Afriandi berkiprah dan mengukir prestasi di ranah masing-masing, yang kebetulan sama-sama dibesarkan di Cijantung. Sebagai satuan yang terpandang sejak kelahirannya (16 April 1952), dan merupakan entitas kebanggaan bangsa, tidak berlebihan kiranya bila Korps Baret Merah pada tahun ini akan mencapai puncak kejayaannya.

Kesempatan pernah menjadi Danjen Kopassus merupakan berkah tersendiri bagi yang sempat menyandangnya, yang dampak (positifnya) masih berpendar hingga puluhan tahun selepas yang bersangkutan meninggalkan Cijantung (Jakarta Timur, lokasi Markas Komado Kopassus). Asumsi seperti itu setidaknya bisa kita lihat hari ini, ketika beberapa mantan Danjen Kopassus pernah atau  masih aktif mengisi panggung politik nasional, dan sebagian telah menjadi tokoh publik, selain Prabowo, ada nama Sintong Panjaitan (Akmil 1963), Agum Gumelar (Akmil 1968), Subagyo HS (Akmil 1970), Prabowo (Akmil 1974), Muchdi PR (Akmil 1970), dan seterusnya.

Aris Santoso, sejak lama dikenal sebagai pengamat militer, khususnya TNI AD. Kini bekerja sebagai editor buku paruh waktu.
Penulis: Aris SantosoFoto: privat

Khusus bagi Prabowo, pengalamannya sebagai Danjen Kopassus,masih lekat dalam ingatan publik. Saat pelantikan dirinya sebagai Komandan Sesko TNI di Bandung, Juni 1998, tak lama setelah dirinya diberhentikan sebagai Pangkostrad, Prabowo berusaha tetap tenang. Publik hanya bisa mengira-ngira, bagaimana perasaan Prabowo pada pelantikan hari itu. Temaramnya pelantikan Prabowo sebagai Komandan Sesko TNI, seolah menyiratkan kegalauan Prabowo, bahwa sebentar lagi dia akan meninggalkan dunia militer (pensiun dini), dan itu artinya akan meninggalkan Kopassus juga, satuan yang sangat dicintainya. 

Hidup manusia memang tidak bisa diramalkan. Mungkin sudah menjadi takdir Prabowo untuk menjadi orang besar. Kini Prabowo telah kembali, dia akan kembali memimpin, bukan sebatas memimpin Kopassus, namun memimpin seluruh rakyat Indonesia. Sebuah ilustrasi kecil bisa diajukan di sini. Saat Prabowo dimutasikan dari Kopassus ke Kostrad pertengahan tahun 1980-an, dalam posisi sebagai Wakil Komandan Yonif Linud 328/Kujang II (sebutan sekarang Yonif Para Raider 328/Dirgahayu), saat itu publik tidak ada yang tahu atau tidak peduli, siapa nama perwira menjadi Danyon 328 saat itu, yang artinya adalah atasan langsung Prabowo.

Fenomena ini bisa terjadi, karena begitu besarnya nama Prabowo, sehingga atasannya langsung di Yonif 328, seolah-olah berada di bawah bayang-bayang Prabowo. Saya pribadi ingin juga mengetahui, siapa atasan langsung Prabowo dimaksud. Akhirnya nama Danyon 328 tersebut, bisa didapatkan, yakni (dengan pangkat saat itu) Letkol Inf Supar Prasetyo (Akmil 1970). Seperti narasi di atas, hidup manusia tidak bisa diramalkan, Letkol Inf Supar Prasetyo tampaknya  kurang beruntung dari segi karier, karena tidak sempat masuk strata perwira tinggi, dengan pangkat terakhir kolonel saat purnabakti.

Daur ulang gagasan lama

Salah satu fenomena yang menarik untuk diamati adalah, para perwira yang pernah menjadi Danjen Kopassus, umumnya adalah perwira yang memiliki kharisma, figur yang sudah menonjol sejak mula, dan acapkali memperoleh ekspose melimpah media. Sebagai satuan elite, wajar bila Kopassus selalu menjadi sorotan, baik oleh pimpinan maupun masyarakat awam. Saya sendiri pernah mengadakan survei kecil-kecilan di lingkungan masyarakat biasa. Salah satu temuan menarik adalah, responden tidak terlalu ingat dengan beberapa nama mantan KSAD, mereka lebih ingat dengan nama perwira yang pernah menjadi Danjen Kopassus. Tentu yang paling diingat adalah figur Sarwo Edhi Wibowo dan Prabowo Subianto.

Setelah hampir tiga dekade  meninggalkan Cijantung, apakah Prabowo sudah benar-benar  melepaskan atmosfer Cijantung, saat resmi memimpin negeri kelak? Saya sendiri menduga, Prabowo tidak bisa lepas sepenuhnya dari masa lalu, bahwa Prabowo memiliki gaya sendiri dalam memimpin. Gaya itu akan diulang kembali saat Prabowo berkantor di Istana, tentu dengan modifikasi tipis-tipis.

Mungkin saya bisa membantu sekadar me-refresh ingatan kita, gebrakan apa yang dilakukan Prabowo saat mejadi Danjen Kopassus, yang berpotensi untuk diulangi kemabali saat resmi menjadi Presiden nanti. Peristiwa dimaksud  itu berlangsung pada akhir  Juni 1996, dalam sebuah upara kebesaran militer di Cijantung, diresmikan reorganisasi Kopassus.

Ketika itu Kopassus dibagi menjadi lima grup, masing-masing adalah: Grup 1 dan Grup 2 (para komando), Grup 3 (pusat pendidikan), Grup 4 (sandi yudha), serta Grup 5 (anti-teror). Dari reorganisasi ini yang penting untuk dicatat adalah pembentukan Grup 4, sebagai satuan yang secara "terbuka” memayungi operasi sandi yudha (intelijen) Kopassus. Selain itu pada Grup 4 inilah, beban sejarah Prabowo dan Kopassus tak kunjung usai, entah sampai kapan. Karena dari Grup 4 inilah kemudian lahir semacam satgas, yang kemudian dikenal sebagai Tim Mawar. 

Sekadar penjelasan tambahan, publik awam tidak perlu bingung membaca angka atau penomoran dalam satuan Kopassus, karena angka tersebut sering berganti. Yang lebih penting untuk diketahui adalah fungsi atau nomenklatur Kopassus yang permanen , yakni para komando, intelijen, lawan teror, dan  pendidikan. Seperti yang terjadi sekarang misalnya, satuan yang menangani pendidikan tidak lagi memakai angka, demikian juga Grup 4/Sandi Yudha, kini sudah ganti nama menjadi Grup 3.

Sangat jelas terlihat reorganisasi Kopassus sudah digagas Prabowo sejak lama, mungkin jauh hari sebelum dia dilantik sebagai Komandan Kopassus. Bisa jadi kelak Prabowo juga akan melakukan perombakan kelembagaan negara saat berkuasa, seperti regrouping kementerian, atau merevisi nomenklatur kementerian, menghapus KSP (Kantor Staf Presiden) untuk kemudian digantikan "lembaga sayap” yang lain, dan seterusnya.

Saat masih menjadi komandan pasukan dulu, bila Prabowo sudah berkehendak, tidak ada pihak yang bisa menghentikannya, termasuk para seniornya di TNI AD. Gagasan Prabowo dalam khazanah budaya jawa, biasa disebut "idu geni” (ludah api). Maknanya kira-kira, apa yang sudah menjadi kehendaknya harus terlaksana, entah bagaimana caranya. Gagasan Prabowo terkadang terlampau ekstrem, atau sulit dipahami, salah satunya ketika memunculkan gagasan, agar Kopassus (saat itu) membawahi juga satuan helikopter, kendati pada akhirnya urung terealisasi.

Satu hal yang ingin saya katakan adalah, untuk semua gagasan besar itu, yang sebagian terinspirasi sejak era Cijantung, Prabowo ingin selalu otonom dan firm. Artinya, kecil kemungkinan (mantan) Presiden Jokowi untuk dilibatkan dalam mendisain gagasan besar yang dikehendaki Prabowo. Benar, Prabowo tidak ingin ada "matahari kembar” dalam

Prabowo Subianto saat muda
Dari militer menuju istana: Prabowo SubiantoFoto: Wikipedia/Command and Staff College of the Indonesian National Army

Konsolidasi dua level

Kesiapan Kopassus dalam menghadapi berbagai masalah kebangsaan, secara singkat bisa dilihat pada penggalan pidato perpisahan Letjen TNI Prabowo selaku Danjen Kopassus (Maret 1998): "Kita tidak akan pernah menyerah, kita tidak akan pernah tunduk kepada tekanan dan permainan dari pihak manapun. Dalam kedaan yang sulit, hanya yang kuat dan berani yang akan tampil.”

Pesan perpisahan Prabowo kepada satuan yang sangat dicintainya, seolah menemukan relevansinya kembali hari-hari ini, ketika Prabowo sedang bersiap menuju Istana (sebagai simbol kekuasaan). Strategi jangka pendek yang sedang disiapkan Prabowo adalah konsolidasi dua level. Pertama, konsolidasi  para mantan Danjen Kopassus, yang kira-kira Prabowo akan membentuk semacam The President Club, yakni komunitas mantan presiden di AS. Konsolidasi mantan Danjen Kopassus bisa dihubungkan dengan dinamika politik di Jakarta hari-hari ini, yang melibatkan nama-nama senior Baret Merah, tidak bisa tidak Kopassus akan terbawa-bawa juga. Terlebih bila kelak Prabowo sudah resmi dilantik sebagai presiden.

Konsolidasi berikutnya adalah pada level anak-didik Prabowo, yang kini menyebar di beberapa organisasi atau parpol. Beberapa nama dimaksud adalah  Andogo Wiradi (Akmil 1981, fungsionaris Partai Golkar), Lodewijk Paulus (kini Sekjen Partai Golkar, Akmil 1981), Eko Wiratmoko (sempat Waketum Partai Golkar, Akmil 1982) dan Musa Bangun (Akmil 1983, fungsionaris Gerindra).  Ketika harus negosiasi dengan Golkar misalnya, Prabowo bisa jadi lebih mengandalkan figure Lodewijk,  bila perundingan dengan Airlangga Hartarto (Ketum Partai Golkar), dalam konteks KIM (Koalisi Indonesia Maju), tidak ada titik temu.

Nama-nama tersebut adalah bagian dari masa lalu Prabowo, yang akan direvitalisasi kembali,  berdasarkan fakta, bahwa Lodewijk dan Eko Wiratmoko menjabat danyon saat Prabowo memimpin Kopassus. Artinya, keduanya adalah perwira terpilih (oleh Prabowo) ketika ditunjuk sebagai danyon, karena pos danyon di Kopassus jumlahnya terbatas, hanya tiga danyon dalam satu grup, sementara pamen di Kopassus cukup banyak.

Sementara Andogo dan Musa Bangun, secara berurutan adalah mantan Komandan Yonif Linud 328/Kostrad, satuan yang dikenal sebagai proxy Prabowo di Kostrad. Realitas ini bisa dihubungkan dengan kenyataan hari ini, ketika ajudan Prabowo (selaku Menhan), yakni Mayor Inf Teddy Indra Wijaya (Akmil 2011) yang juga akan bertugas sebagai Wakil Komandan Yonif 328.

Adalah hal wajar soal keterlibatan Kopassus hari ini, dalam memonitor politik di Jakarta kiwari. Semisal ketika Grup 2 dan Grup 3 sebagai satuan intelijen, akan lebih fokus dalam mengamati apa yang akan berkembang di Jakarta di hari-hari mendatang. Mengingat kota (utamanya Jakarta) memiliki jejak yang panjang dalam pasang-surut sebuah rezim. Seperti tatanan Orde Baru di masa lalu dan munculnya gerakan reformasi Mei 1998, adalah contoh terbaik fenomena politik perkotaan, karena awalnya dibangun secara intensif poros Jakarta – Bandung –Yogyakarta.

Sidang sengketa hasil Pilpres 2024 masih berlangsung di Mahkamah Konstitusi, merujuk pengalaman sidang sengketa sebelumnya, perlu diantisipasi potensi kegelisahan masyarakat. Apabila tidak ditemukan kanal sosial yang tepat, dikhawatirkan eskalasinya akan naik secara perlahan. Pada fase ini peran satuan intelijen Kopassus bisa mengambil peran, untuk mereduksi kemungkinan munculnya situasi chaotic.

Dinamika politik perkotaan lebih kompleks ketimbang  gerakan separatisme. Dalam gerakan separatisme yang terjadi adalah hitam-putih, siapa lawan dan siapa kawan jelas terlihat, sementara politik perkotaan lebih bersifat "grey area”.

Siapa yang dapat memastikan, bahwa kelak tidak akan terjadi sesuatu di luar imajinasi kita, untuk itulah Satgultor-81 Kopassus perlu disiagakan pula. Situasi sekarang mirip dengan digambarkan Mayjen Tarub (Akmil 1965) dulu, mantan Komandan Kopassus pertengahan dekade 1990-an, yang pernah berujar: "Sekarang adalah kondisi ketidakpastian, yang membuat kita harus lebih siap lagi.”

Aris Santoso, sejak lama dikenal sebagai pengamat militer, khususnya TNI AD. Kini bekerja sebagai editor buku paruh waktu.

*Setiap tulisan yang dimuat dalam #DWNesia menjadi tanggung jawab penulis.

*Luangkan menulis pendapat Anda atas opini di atas di kolom komentar di media sosial Terima kasih.